Bisnis.com, TANGERANG—Ketergantungan pelaku industri nonmigas Banten terhadap bahan baku impor belum kunjung surut harus didorong insentif pemprov ke arah penghiliran industri berorientasi ekspor.
BPS mencatat impor menurut kelompok barang paling banyak setara 93,2% dalah bahan baku atau penolong nilainya US$6,24 miliar. Porsi lain ditempati barang modal 5,75% atau US$385,3 juta, dan barang konsumsi 1% sama dengan US$67,3 juta.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani berpendapat untuk mengkompensasi impor bahan baku maupun barang modal yang tinggi, opsi yang bisa ditempuh tak lain penghiliran industri.
Barang-barang yang diproduksi diperdalam tidak hanya sebatas barang mentah lantas diekspor melainkan sampai level barang setengah jadi bahkan barang jadi siap pakai. Ini dikemukakannya kepada Bisnis, Rabu (14/10/2015).
Pendalaman struktur industri butuh sekitar empat tahun. Asumsinya, pembangunan pabrik dua tahun dan ditambah dua tahun lagi untuk persiapan produksi massal. “Dan yang pasti harus ada insentif untuk itu, biasanya kalau ada insentif pelaku industri pasti mau,” ucap dia.
Subtitusi impor bahan baku dengan penghiliran yang hasilnya berorientasi ekspor tidak bisa diperlakukan sama rata ke semua industri. Oleh karena itu, imbuh Aviliani, pemprov harus pandai memilah dan menentukan bidang mana yang bisa merintis penghiliran lebih dulu.
Pendalaman struktur industri butuh sekitar empat tahun. Asumsinya, pembangunan pabrik dua tahun dan ditambah dua tahun lagi untuk persiapan produksi massal. “Dan yang pasti harus ada insentif untuk itu, biasanya kalau ada insentif pelaku industri pasti mau,” ucap dia.
Kini sektor nonmigas mengambil porsi 78,9% dari keseluruhan impor. Persentase ini setara dengan US$5,28 miliar dari total impor senilai US$6,70 miliar. Pebisnis di industri kimia organik importir terbesar sejumlah US$1,93 miliar sama dengan 36,6% impor.