Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aksi Jual Berpotensi Terulang Pada Maret

Sejumlah analis memperkirakan, volatilitas yang tinggi di pasar global akibat aksi jual saham, masih berpotensi terjadi kembali pada Maret 2019.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA—Sejumlah analis memperkirakan, volatilitas yang tinggi di pasar global akibat aksi jual saham, masih berpotensi terjadi kembali pada Maret 2019.

Head of Dynamic Markets AMP Capital Investors Ltd. Nader Naeimi mengatakan, para pelaku pasar sebaiknya menahan rencananya untuk masuk kembali atau melakukan aksi beli saham sebelum Maret. Pasalnya, dia melihat akan ada aksi jual saham besar-besaran lagi pada bulan depan.

“Rencana saya adalah melakukan aksi beli kembali setelah gejolak putaran kedua terjadi (Maret),” katanya, seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (13/2/2018).

Hal itu, menurut Naeimi, didasarkan pada laporan bulanan data non-farm payrolls, pengangguran dan upah pekerja AS yang akan diumumkan pada 9 Maret 2018.

Apabila data tersebut kembali menunjukkan penguatan, maka bukan tak mungkin gejolak kembali terjadi di pasar.

Gejolak selanjutnya, akan terjadi ketika Bank Sentral AS (The Fed) melakukan pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC). Pasalnya, pasar akan sangat menantikan apakah The Fed akan melakukan kenaikan suku bunga sesuai ekspektasi yang muncul di pasar selama ini.

“Di sisi lain, siklus menunjukkan bahwa setelah aksi jual yang besar, pasar ekuitas akan mengalami pemulihan singkat sebelum akhirnya terjadi aksi jual kembali,” ujar Naemi.

Sebelumnya, gejolak yang terjadi di pasar saham global pada pekan lalu, membuat Dana Moneter Internasional (IMF) meminta para pengambil kebijakan memperkuat aturan yang mengawasi perdagangan lintas batas.

Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde mengatakan fokus yang lebih kuat pada aktivitas perdagangan lintas batas negara, akan mencegah terulangnya kejadian di pasar saham pekan lalu.

Langkah tersebut, menurutnya, akan lebih baik dibandingkan memfokuskan diri pada peraturan mengenai entitas atau negara tertentu.

“Kita perlu beralih ke peraturan yang mengendalikan aktivitas bukan entitas. Kita harus mengantisipasi dari mana krisis berikutnya akan terjadi. Apakah akan dari shadow banking atau dari cryptocurrency," katanya dalam pertemuan World Government Summit.

Seperti diketahui, harga sejumlah aset global mulai dari saham hingga minyak mengalami kejatuhan pada pekan lalu.

Penurunan tersebut terjadi lantaran meningkatnya kekhawatiran publik pada langkah Bank Sentral AS (The Fed) yang berpeluang mempercepat kenaikan suku bunganya pada tahun ini.

Indeks S & P 500 turun 5,2% pekan lalu dan menjadi penurunan tertajam sejak Januari 2016. Senada, harga minyak mentah brent juga turun hingga 8,4%.

Adapun imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun berakhr di di 2,85 pekan lalu, setelah sempat terkerek mencapai 2,88%.

"Harga aset telah naik secara besar-besaran dan bertahan cukup lama. Tapi kita semua tentu saja sepakat bahwa ada saatnya aset tersebut mengalami koreksi usai meroket," kata Lagarde.

Para investor kini menantikan rilis data inflasi AS yang dijadwalkan Rabu (14/2/2018). Hasil dari data ekonomi tersebut diperkirakan memicu volatilitas yang tinggi selanjutnya di pasar AS dan negara berkembang di Asia.

Apabila data inflasi tersebut berhasil mencapai atau mendekati target 2% yang ditentukan The Fed, maka prospek kenaikan suku bunga AS yang lebih cepat akan kembal meningkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno
Sumber : bloomberg, reuters

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper